Membaca Tantangan Fiskal RI Usai Ditinggal Sri Mulyani

Kepergian Sri Mulyani dari kursi Menteri Keuangan tentu menjadi peristiwa besar dalam dinamika ekonomi dan politik Indonesia. cvtogel Selama bertahun-tahun, ia dikenal sebagai sosok teknokrat yang mampu menjaga kepercayaan investor global, mengelola kebijakan fiskal dengan hati-hati, dan menjadi wajah stabilitas ekonomi Indonesia. Kini, pertanyaan yang muncul adalah: apa tantangan fiskal Indonesia setelah era Sri Mulyani?


1. Warisan Sri Mulyani di Bidang Fiskal

Sri Mulyani merupakan menteri yang identik dengan disiplin anggaran. Beberapa warisan penting yang ditinggalkan di antaranya:

  • Pengendalian defisit anggaran yang relatif terjaga meski sempat melebar saat pandemi.

  • Reformasi pajak, termasuk penguatan Direktorat Jenderal Pajak serta penerapan pajak karbon.

  • Fokus pada pembangunan berkelanjutan, lewat dukungan anggaran untuk pendidikan, kesehatan, serta infrastruktur hijau.

  • Kepercayaan pasar internasional, yang ditunjukkan lewat peringkat utang Indonesia yang tetap stabil di level layak investasi.

Warisan inilah yang menjadi “pegangan” bagi penerusnya. Namun, menjaga konsistensi bukanlah hal mudah, apalagi di tengah tantangan baru.


2. Tantangan Penerimaan Negara

Salah satu masalah klasik fiskal Indonesia adalah rendahnya tax ratio (rasio pajak terhadap PDB). Meski sudah ada upaya perbaikan, tax ratio Indonesia masih di kisaran 10–11%, jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata negara peers di ASEAN.

  • Kepatuhan pajak masyarakat masih rendah.

  • Basis pajak terbatas, di mana mayoritas penerimaan masih bergantung pada PPN dan PPh.

  • Tantangan ekonomi digital, yang membuat banyak potensi pajak lintas batas belum optimal tergarap.

Penerus Sri Mulyani harus bisa memperluas basis pajak tanpa menimbulkan resistensi tinggi di masyarakat dan dunia usaha.


3. Defisit dan Utang Negara

Pasca pandemi, defisit APBN sempat melebar hingga 6,1% PDB. Meski kini sudah kembali di bawah 3%, beban utang negara meningkat signifikan. Total utang per Juli 2025 sudah menyentuh lebih dari Rp8.000 triliun.
Tantangan yang muncul adalah:

  • Menjaga agar rasio utang terhadap PDB tetap sehat (saat ini sekitar 39%).

  • Menghindari pembiayaan utang yang terlalu mahal di tengah tren suku bunga global yang masih tinggi.

  • Menjaga ruang fiskal tetap leluasa agar tidak terkunci hanya untuk pembayaran bunga dan cicilan utang.


4. Belanja Negara yang Semakin Berat

Belanja negara terus meningkat seiring kebutuhan subsidi energi, bantuan sosial, hingga pembangunan infrastruktur. Tahun politik juga membuat tekanan terhadap belanja semakin tinggi karena adanya program populis.
Beberapa dilema yang akan dihadapi adalah:

  • Subsidi energi: menjaga harga BBM tetap terjangkau tanpa menguras APBN.

  • Belanja sosial: memperkuat perlindungan masyarakat miskin, namun tidak menimbulkan ketergantungan.

  • Proyek strategis nasional: memastikan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan infrastruktur lain tidak membebani keuangan negara.


5. Tantangan Eksternal yang Mengancam Fiskal

Selain faktor domestik, kondisi global juga menjadi ancaman serius:

  • Gejolak harga komoditas: sebagai eksportir batu bara dan CPO, Indonesia diuntungkan saat harga tinggi, tapi rentan saat harga anjlok.

  • Ketidakpastian geopolitik: perang di Ukraina dan Timur Tengah memicu kenaikan harga energi dan pangan.

  • Tekanan nilai tukar rupiah: pelemahan rupiah berpotensi menaikkan beban utang luar negeri serta subsidi energi.


6. Kepercayaan Investor dan Pasar

Salah satu kekuatan Sri Mulyani adalah reputasinya di mata investor global. Kini, tanpa sosoknya, pemerintah harus bekerja keras menjaga kepercayaan pasar. Investor asing akan menyoroti beberapa hal:

  • Konsistensi dalam disiplin fiskal.

  • Komitmen pada transparansi anggaran.

  • Keberlanjutan reformasi struktural yang sudah dimulai.

Apabila kepercayaan ini goyah, risiko outflow modal asing akan meningkat, yang berdampak langsung pada stabilitas rupiah dan pasar obligasi negara.


7. Misi Berat Pengganti Sri Mulyani

Siapapun yang menggantikan Sri Mulyani harus menghadapi realitas bahwa mengelola fiskal tidak hanya soal angka, tapi juga soal kredibilitas.

  • Harus mampu menjaga komunikasi dengan publik dan investor.

  • Perlu menyeimbangkan kebutuhan populis dan keberlanjutan fiskal.

  • Wajib memastikan APBN tidak hanya sekadar instrumen belanja, tetapi juga alat menjaga stabilitas ekonomi.


Penutup: Mencari Keseimbangan Baru

Era pasca-Sri Mulyani adalah ujian besar bagi fiskal Indonesia. APBN akan menghadapi tekanan dari sisi penerimaan, belanja, dan pembiayaan. Tanpa manajemen yang hati-hati, risiko krisis fiskal bisa membayangi, meski peluangnya tidak sebesar era 1997–1998.

Maka, yang dibutuhkan bukan hanya teknokrat andal, tapi juga political will yang kuat dari pemerintah untuk menjaga disiplin anggaran. Indonesia harus membuktikan bahwa stabilitas fiskal bukan hanya bergantung pada satu orang, tetapi menjadi komitmen bersama bangsa.